Daleman Edisi #0: Asal Mula
Sebuah Prolog
Bismillahirrohmanirrokhim.
Beberapa waktu lalu aku sempat
mempertanyakan kepada diriku sendiri, "Kenapa aku harus mencari informasi
(membaca buku, melihat vidio, mendengarkan petuah) tentang Manusia? Bagimana
muncul perasaan, bagaimana cara otak menyimpan kenangan? Lalu misteri apa yang
menghubungkan secara fisik dan mental, atau jiwa dan raga pada manusia? Toh
tidak ada manfaat nyatanya juga, mending kerja atau berjualan agar dapat uang,
bisa makan."
Jika kamu mempertanyakan hal yang
sama, aku punya pernyataan sekaligus pertanyaan selanjutnya yang juga aku
pertanyakan kepada diriku sendiri. "Mungkin, aku sudah tidak takjub dengan
pergantian siang dan malam, bulan sabit dan purnama, pergantian musim, listrik,
frekwensi radio karena semua itu nampak bagiku, dan bisa diamati dengan indra,
dan semuanya terlalu biasa. Namun apa aku tidak takjub dengan perubahan emosi
dan detak jantung saat melihat mantan bergandengan tangan dengan pacar barunya?
Atau kenapa aku bisa lupa letak kunci motor yang baru beberapa menit yang lalu
aku taruh? Apa aku tidak takjub?"
Aku masih sangat ingat awal
ketertarikanku pada manusia. Waktu itu di sebuah bordes kereta yang membawaku
dari Kediri menuju Jogja. Aku dibuat takjub oleh seseorang yang mengerti
kondisi mentalku hanya dengan melihat ketikan SMSku. That was great! Dari situ
aku mulai tertarik dengan psikologi. Selain itu, aku merasa bermasalah dengan
diriku sendiri, dan aku yakin, pada zaman seperti sekarang ini, akan semakin banyak
orang memerlukan seorang psikolog.
Aku mulai membaca buku-buku
tentang personalitas, karakter manusia, dan beberapa buku pengantar psikologi.
Apa yang aku dapat? There was nothing, selain aku selalu men-judge orang lain
masuk kategori karakter ini atau itu Hahaha, dan aku masih belum mengerti
tentang diriku sendiri. Aku masih merasa aku bermasalah. Akhirnya aku berpikir
untuk kuliah psikologi. Berkali-kali aku coba ikut tes agar bisa kuliah psikologi.
Namun selalu gagal haha. Akhirnya aku kuliah jurusan lain. Sejarah lebih
tepatnya. Intensitasku pada psikologi menurun, namun selalu saja aku
dipertemukan dengan sesuatu, entah buku, film, atau lainnya yang mengarah ke
psikologi.
Oh iya sebelum kepada psikologi,
aku tertarik dengan tasawuf, dengan penjelasan substansional yang sulit
dibayangkan oleh nalarku. Lebih tepatnya karena aku merasa takut berpikir lebih
jauh, karena aku tumbuh dan berkembang bersama informasi-informasi agama dengan
dogma sedemikian rupa, melekat dalam. Aku takut dianggap melanggar aqidah
meskipun sebetulnya aku ingin selalu berpikir lebih jauh. Aku menolak informasi-informasi
yang menurutku itu jauh atau bertolak belakang dengan aqidah agama.
Sebetulnya, aku sempat menyerah
dengan psikologi. Parahnya, nyerahku pada psikologi membikin gairah belajarku
menurun jauh. Aku lebih suka pacaran, jalan-jalan, main game, dan kesenangan
lainnya. Gairah belajar selalu tumbuh sesaat, jika usai ngopi, membahas yang
'berat-berat'. Psikologi tak aku teruskan, kuliah sejarahku berantakan. Sampai akhirnya
aku memutuskan pindah jurusan dan mengambil jurusan Filsafat. Dari sini,
perlahan namun pasti gairah belajarku menuju stabil. Aku akrab kembali dengan
buku. Aku akrab kembali dengan puisi-puisi, karena puisi adalah caraku
menyampaikan sesuatu. Daaaaaan.... Aku mulai berani berpikir lebih jauh, bukan
merobohkan aqidahku, namun aku membuka diriku seluas-luasnya terhadap informasi
apapun. Karena, ketika aku kuliah filsafat. Jika aku teguh memegang teguh
pemikiran, atau menutup diri. Aku akan kesulitan memahami materi kuliah yang
harus bersinggungan dengan bermacam-macam pemikiran. Pemikiran yang kadang
saling bantah, saling mendukung, saling menunjukkan kebenaran di satu sisi dan
kesalahan di sisi lain sekaligus.
Informasi apapun aku terima tanpa
penolakan, tanpa komparasi, juga tanpa tendensi. Semuanya silahkan masuk,
silahkan keluar juga. Etika, logika, epistemologi, antropologi, sosiologi,
tasawuf, bahasa, hermeneutik, semiotika, dan juga fisika kuantum. Fisika kuantum
merebut perhatianku, meskipun jauh sebelumnya aku pun sering mendengar
tentangnya, namun karena itu tadi. Aku menutup diri dan menolak sesuatu yang
aku anggap mengancam aqidah.
Fisika kuantum membuatku
terpesona. Aku kagum dengan runtutan sebelum materi, materi di pecah-pecah. Molekul,
atom, proton, neutron, elektron, partikel, hingga terkahir simsalabim, hampa alias energi, dan gelombang. I think it’s amazing. Aku membayangkan,
aku adalah sebuah materi, begitupun gelas yang juga merupakan sebuah materi. Yang
tersusun dari itu tadi. Jangan-jangan jika, hukum pengikat energinya, atau
frekuensinya sama, gelas tersebut bisa masuk ke tubuhku, atau aku bisa masuk ke
dalam gelas. Waoooowww there’s no more ghaib!!!
Santen, teluh, ajimat, kemat dan semua kesaktian lain are logic. Semuanya mungkin diamati, diteliti, dipelajari, dan
masuk akal.
Aku semakin terpesona, ketika
mendapat informasi tentang apa yang disebut dengan law of attraction atau hukum tarik-menarik. Bagaimana gelombang energi
yang kita keluarkan dari pikiran dan perasaan menarik gelombang energi sama
kepada kita, hindu menyebutnya karma, Hume dan Ghazali menyebutnya kausalitas,
atau hukum sebab akibat. Ya meskipun tidak sepenuhnya seperti itu. Namun karena hukum
tarik-menarik ini, karma menjadi masuk akal, begitupun dengan sabar, tawakal,
pasrah dan ikhlas yang sebelum seolah-olah hanya kata indah dan sulit
dibayangkan menjadi masuk akal. Dari situ aku simpulkan. It’s all about psychology, it’s
all about how I think, and how I feel.
Itu faktor dari dalam diriku
kenapa aku merasa perlu menulis tentang manusia; perasaan, pikiran, perilaku,
kebiasaan, karakter dan lain-lain. Sebagai pengingat sekaligus sebagai catatan
dari informasi yang aku peroleh sejauh ini. Otak bisa menua, namun tulisan bisa
berusia lebih lama dari hidupku sendiri. Ada juga faktor lain yang mendorong
kenapa aku merasa perlu menulis. Tulisan yang juga berarti aku membagi
informasi kepada orang lain, termasuk kamu. Faktor lain yang juga faktor
luarnya karena aku merasa, masih banyak orang yang hanya tahu sedikit tentang
informasi, atau memiliki sedikit pengetahuan. Terlebih, banyak orang yang
berhenti belajar, berhenti mencari informasi, yang pada akhirnya membuat informasi
yang sudah diperoleh dijadikan sebagai kebenaran tak terbantahkan. Aku
menyimpulkan seperti itu karena melihat kasus Ahok. Melihat reaksi pada
lingkungan terdekatku, juga melihat di sosial media yang membuatku sedih. Sosial
media yang sebelumnya aku sudah mulai menjauhinya sedikit demi sedikit, bahkan
aku sempat berencana menghapus akun-akunku secara permanen. Akan tetapi,
ternyata sosial media sudah menjadi kebutuhan. Untuk berbagi, entah hal baik
atau buruk. Sosial media adalah media paling dekat dengan masing-masing dari
kita.
Dalam kasus itu aku menganggap,
masyarakat kita krisis membaca, krisis pendidikan, dan krisis kepercayaan
terutama kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Aku tidak pro ataupun kontra
siapapun. Aku hanya ingin mengingatkan agar kita tidak berhenti belajar, tidak
berhenti mencari informasi, tidak berhenti mencari pengetahuan, tidak berhenti
mencari ilmu. Karena masih banyak yang kita belum tahu, dan kita terlalu
membatasi pengetahuan kita. Dengan dalih kesibukan, malas, sudah tidak ada
manfaatnya. Ooooh semuanya tidak ada sia-sia. Semuanya bermanfaat. Asalkan kita
mau membuka diri dan berpikir terbuka, pasti ada manfaat yang kita peroleh. Mungkin
bukan uang, bukan jabatan, bukan pencapaian hidup lainnya.
Bukan aku ingin menggurui apalagi
menganggap orang lain bodoh (baca: sedikit tahu informasi), namun aku hanya
sekedar berbagi informasi, berbagi apa yang aku tahu, berbagi pengetahuan,
berbagi ilmu. Aku hanya yakin, informasi atau pengetahuan kita menentukan cara
kita bertutur, bersikap-perilaku. Tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang
yang sedikit tahu dan tidak mau mencari tahu. Tidak ada orang yang sejak
dilahirkan menjadi pemarah, yang ada hanya orang tersebut terlalu banyak
informasi tentang marah. Sebetulnya kita semua sama, manusia, makhluk ciptaan
Allah. Seakan-akan kita berbeda, karena kita diberi informasi yang berbeda-beda,
kita diberi pengajaran yang berbeda-beda. Jadi kita sering menganggap kita
berbeda satu sama lain.
Kenapa Psikologi?
Hahahaha sebetulnya ini hanya
soal definisi terhadap ‘sesuatu’. Definisi lahir dari apa? Just information, or knowledge. Aku sering lucu sendiri dengan
anggapan umum pada kata kata seperti, Perasaan, batin, jiwa, bahagia, pikiran,
prasangka, cinta, benci, dan lain-lain. Semisal kata perasaan, biasanya menjadi
bumbu paling sedap ketika pacaran; Perasaanku
sakitl ah, perasaanku bahagia lah, perasaanku padamu lah. Seringnya ketika
aku bertanya kepada yang bilang seperti itu, “Apa itu perasaan?”, mereka diam. Hehehe
dulu aku seneng menjatuhkan, ketika kata-kataku tidak bisa disangkal aku merasa
menang dan bangga. Namun kini tidak lagi, nyesel juga sih sempat punya kelakuan
seperti itu. Eh tidak ada gunanya juga menyesal sih. Jelasnya, mungkin kalau
aku belum pernah menang atau kalah dalam pendapat, mungkin aku tidak akan bisa
menghargai pendapat orang lain. Menghargai bukan berarti menerima tanpa sanggah
loh yaaa.
Bukan itu (baca: paragraf di
atas) sih alasan sebenarnya, namun sedikit, iya karena itu hahaha. Kenapa Psikologi?
Sekarang ilmu sudah bermacam-macam jenisnya. Sehingga hampir tidak mungkin
mempelajari semua. Sudah begitu, kadang satu sama lain saling bertolak
belakang. Disebutnya sih disiplin ilmu (aku sangat tidak suka dengan
pengelompokan ilmu ini). Psikologi salah satunya, daaaaan Psikologi membahas
jiwa manusia. Secara bahasa, psikologi berasal dari Bahasa Yunani Psycho yang berarti jiwa dan Logos artinya ilmu. Jadi Psikologi
adalah ilmu tentang jiwa (manusia).
Saat ini aku menganggap Psikologi
adalah inti dari seluruh ilmu dan seluruh alam semesta. Berlebihan banget ya? Gakpapa hehehe. Izinkan aku berikan
beberpa contoh kenapa aku menganggap psikologi sedemikian berlebihan: Ketika
seseorang sakit kronis, dan semua daya medis sudah dikerahkan. Menurut dokter
yang menjadi penentu adalah sebesar apa keinginannya untuk terus hidup. Itu psikologi
lhoh!. Ketika seseorang bertemu anjing, lalu anjing itu menggonginya. Orang tersebut
pasti merasa terancam atau takut karena adanya anjing itu. Itu psikologi lhoh!.
Ketika kamu mengobrol dengan teman, kamu tersinggung karena temanmu tidak
memperhatikan. Temanmu mungkin menganggap obrolan tersebut tidak penting baginya.
Itu psikologi lhoh!. Sudah segitu saja contohnya hahaha.
Jika kamu bertanya apa yang aku
anut? Aku menganut law of attraction.
Aku tidak akan menjelaskan bagaimana gelombang yang kita pacarkan bekerja dan mengundang
gelombang yang sama di semesta lalu kembali kepada kita dulu. Aku pun tidak akan
menjelaskan soal gelombang energi force atau
power-nya Hawkins dulu. Bukan tidak mau
sih, namun nanti sedikit demi sedikit. Namun yang akan aku tulis selanjutnya
(entah sampai berapa seri hehehe) adalah tentang Deleman kita, Jeroan kita,
Jiwa kita, dan aku akan coba tuliskan semua informasi yang aku tahu untuk
menulis Daleman.
Sekian prolognya. Semoga bermanfaat.
Kalau tidak, awas!
MAN. Berintan, Februari-Maret
2017
Komentar
Posting Komentar